3.7.13

Pasir Hitam Krakatau


Pemandangan pantai Anak Gunung Krakatau memang berbeda dari beberapa pulau di sekitarnya, pasir berwarna hitam. Bukan hitam biasa seperti pasir pantai lainnya, namun pasir yang hitam legam. Pemadangan ini membentang sepanjang pantai di Anak Gunung Krakatau.


Subuh-subuh, kami menempuh perjalanan sekitar 1,5 jam dari Pulau Sebesi. Langit fajar, udara lembat, dan bau laut, menemani perjalanan kami. Perahu kami bersandar di salah satu pantai. Kepala perahu langsung mendarat tepat di bibir pantai, menjejak pasir hitam. Tali berserat berukuran jempol tangan orang dewasa dijulurkan dan diikatkan pada pohon pinus. Kami segera turun dari perahu melalui tangga kecil setinggi 1,5 meter. Di sekitar terdapat pos pemantauan aktivitas vulkanik Anak Gunung Krakatau.


Kami menulusuri jalanan setapak berpasir. Pohon-pohon ‘baru’ tumbuh di kanan-kiri. Pemandangannya memang seperti ‘hutan baru’. Tak ada pohon berukuran besar dan tua. Banyak pucuk-pucuk bakal daun muncul pada pohon. Kebanyakan memang pohon pinus. Asli tumbuh sendiri atau memang ada yang sengaja menebarkan biji benih pinus disini, entahlah?


‘Hutan baru’ memang tak luas, tak lama kami melangkah sudah berada pada area yang mulai menanjak, menuju ke atas gunung. Hamparan pasir hitam sisa aktifitas vulkanis Anak Gunung Krakatau membentang hingga puncaknya. Beberapa pohon mati kering tak tahan oleh bara lava gunung. Batu-batu tajam berserakan. Jejak tumbukan di atas pasir menandakan hantaman dari batu lava yang dimuntahkan Krakatau. Bukan main ukuran cuy!


Aku jadi teringat akan pasir dari erupsi Gunung Merapi di Jogja beberapa waktu lalu. Banyak masyarakat memanfaatkan pasir vulkanis tersebut untuk bahan bangunan. “Kok nggak ada yang memanfaatkan pasir dari (hasil muntahan Anak Gunung) Krakatau Pak” tanyaku penasaran pada nahkoda perahu yang mengantarkan kami. Seperti yang kita ketahui bahwa pasir vulkanis sangat berkualitas terutama untuk bahan bangunan. Dia menjelaskan bahwa tak ada warga yang berani mengambil pasir vulkanis dari Krakatau, karena akan ditimpa kesialan. “Dulu pernah ada perahu besar mengambil pasir, tapi entah kenapa selalu tenggelam. Bukan hanya sekali mas” jelasnya.


Kami mulai trekking. Sekali menjejak, pasir turun sedikit, sehingga terasa berat. Di titik yang diperbolehkan mendekat Krakatau terbentang alam yang sangat indah. Puncak Anak Krakatau terasa dekat, dengan sesekali asap putih tipis keluar. Di depan kami ada Pulau Rakata (1.400 Ha), sebelah kanan Pulau Sertung (1.064 Ha), dan sebalah kiri Pulau Panjang (320 Ha). Pulau Panjang memiliki luas yang sama persis dengan Anak gunung Krakatau. Puncak Anak Gunung Krakatau berjarak dengan kami ada lembah seperti akibat amblasnya gunung.



Bagi sebagian orang membawa oleh-oleh dari suatu destinasi merupakan hal yang akan menjadi ‘bukti otentik’ bahwa orang tersebut pernah mengunjungi tempat tersebut. Aku melihat orang lain mengambil batu kecil dari gunung Krakatau, namun dilarang oleh yang penjaga gunung. Entah apa alasannya. Mungkin karena hal mistis ‘tadi’ kah? Atau ini salah satu upaya pelestarian Cagar Alam Anak Gunung Krakatau, sehingga dilarang membawa pasir/kerikil hitam atau apapun yang ada di cagar alam tersebut, SEKECIL APAPUN, untuk dibawa sebagai ‘kenang-kenangan’.



Semoga dengan upaya yang gigih tersebut mampu menjaga ‘generasi’ Krakatau yang sedang tumbuh, akan kelestariannya.

***

Tidak ada komentar: