Pemandangan
pantai Anak Gunung Krakatau memang berbeda dari beberapa pulau di sekitarnya,
pasir berwarna hitam. Bukan hitam biasa seperti pasir pantai lainnya, namun
pasir yang hitam legam. Pemadangan ini membentang sepanjang pantai di Anak
Gunung Krakatau.
Subuh-subuh,
kami menempuh perjalanan sekitar 1,5 jam dari Pulau Sebesi. Langit fajar, udara
lembat, dan bau laut, menemani perjalanan kami. Perahu kami bersandar di salah
satu pantai. Kepala perahu langsung mendarat tepat di bibir pantai, menjejak
pasir hitam. Tali berserat berukuran jempol tangan orang dewasa dijulurkan dan
diikatkan pada pohon pinus. Kami segera turun dari perahu melalui tangga kecil
setinggi 1,5 meter. Di sekitar terdapat pos pemantauan aktivitas vulkanik Anak
Gunung Krakatau.
Kami
menulusuri jalanan setapak berpasir. Pohon-pohon ‘baru’ tumbuh di kanan-kiri.
Pemandangannya memang seperti ‘hutan baru’. Tak ada pohon berukuran besar dan
tua. Banyak pucuk-pucuk bakal daun muncul pada pohon. Kebanyakan memang pohon
pinus. Asli tumbuh sendiri atau memang ada yang sengaja menebarkan biji benih
pinus disini, entahlah?
‘Hutan
baru’ memang tak luas, tak lama kami melangkah sudah berada pada area yang
mulai menanjak, menuju ke atas gunung. Hamparan pasir hitam sisa aktifitas
vulkanis Anak Gunung Krakatau membentang hingga puncaknya. Beberapa pohon mati kering
tak tahan oleh bara lava gunung. Batu-batu tajam berserakan. Jejak tumbukan di
atas pasir menandakan hantaman dari batu lava yang dimuntahkan Krakatau. Bukan main ukuran cuy!
Aku
jadi teringat akan pasir dari erupsi Gunung Merapi di Jogja beberapa waktu
lalu. Banyak masyarakat memanfaatkan pasir vulkanis tersebut untuk bahan
bangunan. “Kok nggak ada yang memanfaatkan
pasir dari (hasil muntahan Anak Gunung) Krakatau Pak” tanyaku penasaran pada
nahkoda perahu yang mengantarkan kami. Seperti yang kita ketahui bahwa pasir
vulkanis sangat berkualitas terutama untuk bahan bangunan. Dia menjelaskan
bahwa tak ada warga yang berani mengambil pasir vulkanis dari Krakatau, karena
akan ditimpa kesialan. “Dulu pernah ada perahu besar mengambil pasir, tapi
entah kenapa selalu tenggelam. Bukan hanya sekali mas” jelasnya.
Kami
mulai trekking. Sekali menjejak,
pasir turun sedikit, sehingga terasa berat. Di titik yang diperbolehkan
mendekat Krakatau terbentang alam yang sangat indah. Puncak Anak Krakatau
terasa dekat, dengan sesekali asap putih tipis keluar. Di depan kami ada Pulau
Rakata (1.400 Ha), sebelah kanan Pulau Sertung (1.064 Ha), dan sebalah kiri
Pulau Panjang (320 Ha). Pulau Panjang memiliki luas yang sama persis dengan
Anak gunung Krakatau. Puncak Anak Gunung Krakatau berjarak dengan kami ada
lembah seperti akibat amblasnya gunung.
Bagi
sebagian orang membawa oleh-oleh dari suatu destinasi merupakan hal yang akan
menjadi ‘bukti otentik’ bahwa orang tersebut pernah mengunjungi tempat
tersebut. Aku melihat orang lain mengambil batu kecil dari gunung Krakatau,
namun dilarang oleh yang penjaga gunung. Entah apa alasannya. Mungkin karena
hal mistis ‘tadi’ kah? Atau ini salah satu upaya pelestarian Cagar Alam Anak
Gunung Krakatau, sehingga dilarang membawa pasir/kerikil hitam atau apapun yang
ada di cagar alam tersebut, SEKECIL APAPUN, untuk dibawa sebagai
‘kenang-kenangan’.
Semoga
dengan upaya yang gigih tersebut mampu menjaga ‘generasi’ Krakatau yang sedang
tumbuh, akan kelestariannya.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar